Monday, July 23, 2012

'The Joker' : obsessive-compulsive disorder (OCD)

Jakarta James Holmes tiba-tiba memuntahkan peluru dari pistolnya dengan membabi buta saat
pemutaran film Batman di Colorado, AS. Pemeriksaan kejiwaan atas Holmes diperlukan untuk mengetahui kesehatan mentalnya. Namun dugaan sementara, Holmes mengalami gejala gangguan obsesi kompulsif alias obsessive-compulsive disorder (OCD).

12 Orang tewas dan 71 orang luka-luka akibat aksi Holmes. Pria itu pun diamankan polisi. Namun tidak ada tanda-tanda penyesalan pada dirinya.

"Dugaannya bisa jadi mengalami gejala obsesi kompulsif. Jadi orang itu melihat film, kemudian apa yang dia tonton masuk ke dalam memori otak dia. Karena sudah masuk ke memori maka susah untuk dihilangkan. Kalau baik maka akan jadi baik, tapi kalau yang diimitasi itu perbuatan kejam, dia akan terobsesi seperti model yang dia amati. Dan perwujudannya hanya cari kesempatan," kata psikolog Fauzan Heru Santhoso.

Berikut ini wawancara detikcom dengan psikolog sosial dari Universitas Gadjah Mada ini, Senin (23/7/2012):

Pelaku penembakan di tengah pemutaran film Batman berusia 24 tahun. Dia menyebut dirinya sebagai The Joker, tokoh jahat di film Batman. Mengapa film bisa sangat mempengaruhi dia?

Usia 24 tahun itu sebenarnya adalah usia dewasa. Kalau sampai tidak bisa mengontrol diri itu berarti ada kelainan. Seharusnya di usia dewasa pengelolaan emosi lebih baik. Mungkin karena orang ini ada kelainan sedikit, maka manifestasinya seperti itu.

Pengelolaan emosinya kurang bagus, sangat impulsif, mudah meledak. Kebetulan di
sekitarnya ada benda yang bisa digunakan untuk menyalurkan agresivitasnya sehingga terjadilah peristiwa itu.

Pelaku merupakan mahasiswa doktoral program neuroscience di University of Colorado Denver/Anschutz Medical Campus. Seorang yang terpelajar sekalipun bisa sebegitu dalam terpapar film?

Perilaku abnormal tidak ada kaitan dengan latar belakang studi. Anda tahu, mahasiswa psikologi tidak semua mau menuntut ilmu, tapi berobat jalan. Kadang ada yang mencari penyelesaian dengan mengambil kuliah ini. Orang terpelajar sekalipun ada yang mengalami ketidaknormalan.

Kelainan ini bisa dideteksi atau datang tiba-tiba?

Seharusnya bisa dideteksi sejak remaja. Nah, kalau masih kuliah, maka fungsi konsultasi di perguruan tinggi itu bisa dimaksimalkan. Lembaga konsultasi ini nanti bisa mengobservasi sehingga kelainannya bisa lebih bisa dipahami. Seperti di UGM ada Biro Konsultasi UGM. Jadi selain kesehatan fisik juga kesehatan psikologi diperhatikan.

Sebenarnya banyak mahasiswa yang berkasus (psikologis) dan sebagian besar gangguan emosional. Kalau tidak diatasi dengan segera maka akan menimbulkan akumulasi, dan menjadi tekanan berat di kemudian hari.

Biasanya orang yang memiliki kelainan ini bertipe introvert atau ekstrovert? Sebab pelaku dikenal supel oleh tetangganya.

Biasanya orang ini lebih introvert. Sebab kalau orangnya ekstrovert cenderung nggak punya beban. Orang yang introvert itu menikmati sendiri semua perasaannya, sakitnya, semuanya. Dan ini bisa meledak.

Saya kira nanti akan diteliti lebih lanjut apakah pelaku benar-benar ekstrovert atau tidak. Ada kemungkinan juga sebenarnya dia adalah pribadi yang introvert. Namun dia keluar dan bergabung dengan kelompok yang lebih besar, bergaul, agar tidak dianggap introvert. Tapi bergaulnya juga bagaimana? Apakah dalam berinteraksi lebih banyak diam atau bagaimana.

Apalagi ternyata ditemukan jebakan peledak di kamarnya. Ini menunjukkan ada kelainan. Kalau tidak kelainan, masa barang-barang yang tidak lazim dan berbahaya buat dirinya dan orang lain malah dikoleksi.

Pelaku berlaku seolah-olah adalah The Joker, misal meludah di sembarang tempat, mengkonsumsi vicodin seperti Heath Ledger (pemeran The Joker yang tewas). Dia sedang berusaha melakukan imitasi?

Dia terobesesi menjadi The Joker. Dalam pikirannya hanya ada kelakuan The Joker sehingga perilakunya meniru The Joker. Hingga kemudian dia menembaki beberapa orang.

Menurut petugas setempat, pelaku tidak tampak menyesal dan merasa berada di film. Dia tidak bisa membedakan imajinasi dan kenyataan?

Dugaannya bisa jadi mengalami gejala obsesi kompulsif. Jadi orang itu melihat film, kemudian apa yang dia tonton masuk ke dalam memori otak dia. Karena sudah masuk ke memori maka susah untuk dihilangkan. Kalau baik maka akan jadi baik, tapi kalau yang diimitasi itu perbuatan kejam, dia akan terobsesi seperti model yang dia amati. Dan perwujudannya hanya cari kesempatan

Apa yang membuat seseorang menjadi seperti itu?

Ada faktor lingkungan dan ada faktor dalam orang itu sendiri sangat besar. Jadi dalam ada diri orang itu ada gangguan neuro transmitter, ada syaraf di otak yang mengalami gangguan.

Faktor lingkungan juga bisa mempengaruhi perilaku seseorang, apalagi jika lingkungan selalu menunjukkan kekerasan agresif. Ketika ada pemicunya, misal patah hati dan sebagainya maka kecenderungannya ke situ (berperilaku kekerasan).

Bisakah kelainan ini disembuhkan?

Kalau gangguan yang bukan sifatnya keturunan, selama hanya emosional, dengan konseling itu bisa disembuhkan.

Tayangan kekerasan memang sangat bahaya?

Ada pengaruhnya, tapi nggak besar. Lebih karena ada faktor lain, seperti lingkungan dan orang itu sendiri.

Agar tidak terjadi lagi kasus serupa, antisipasi apa yang harus dilakukan?

Yang jelas orang tua, masyarakat, dunia pendidikan, terutama guru dan dosen tidak hanya memberikan pendidikan kognitif semata, tapi juga afektif. Sekarang ini masih lebih banyak kognitif sehingga hati dan rasa tidak diolah. Kalau ini dibiarkan maka kejadian semacam itu akan mungkin sering terjadi. Orang menjadi rasional, tapi tidak memikirkan perasaan orang lain dan lingkungan.

Selain itu, kelainan sekecil apapun yang ditunjukkan oleh seseorang, harus diperhatikan betul oleh orang tua, dunia pendidikan, dan masyarakat.

Sumber : http://news.detik.com/read/2012/07/23/142231/1972359/158/psikolog-fauzan-heru-the-joker-bisa-jadi-alami-gejala-obsesi-kompulsif


No comments:

Post a Comment